Saya ingin berbagi software koleksi pribadi melalui link di bawah ini :
Menjadi suami solihah. Ungkapan itu bernada ejekan. Ejekan ditujukan kepada suami
yang bersedia mengerjakan pekerjaan ‘istri’. Yaitu pekerjaan yang lazimnya
dikerjakan oleh kaum hawa. Seperti memasak, mencuci dan menyapu. Jika pekerjaan
itu ditunaikan oleh seorang suami dengan perasaan senang tanpa paksaan maupun tekanan, maka dia pantas menyandang gelar suami solihah. Walaupun sebenarnya
tidak ada pembagian pekerjaan seperti itu. Tidak ada pekerjaan untuk suami dan tidak ada
pekerjaan untuk istri. Pembagian itu hanya berdasarkan kebiasaan saja.
Kebiasaan yang diwarisi turun temurun tanpa melalui dialog atau diskusi.
Apalagi pewarisannya disertai dengan ‘intimidasi’. Banyak orang tua yang
mengintimidasi putrinya saat memberi bekal kehidupan yang segera diemban begitu
menikah. Intimidasi juga dilakukan kepada putranya. Bahwa laki-laki pantang
mengurus dapur, sumur dan kasur. Sehingga kebiasaan itu tetap lestari dan
menjadi sebuah kebenaran yang harus ditaati. Kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat luas kemudian menjadi tata nilai yang dijunjung tinggi. Bahwa urusan
anak, dapur, sumur dan kasur adalah urusan wanita. Urusan genting bocor, disain
rumah, barang elektronik adalah urusan pria. Jika kita mau membandingkan antara
kedua urusan itu, ternyata kedua urusan itu tidaklah sebanding. Urusan anak, dapur,
sumur dan kasur adalah sebuah urusan yang tidak pernah berhenti. Terus menerus
dilakukan setiap hari, setiap saat, pagi, siang maupun malam. Sungguh pekerjaan
yang maha berat. Apalagi jika si istri juga dibebani dengan kaharusan mencari
nafkah. Sungguh tak terbayangkan ketimpangannya. Sedangkan urusan genting
bocor, disain rumah, barang elektronik adalah urusan yang ringan ringan saja.
Ketika genting sudah diganti, barang elektronik sudah terbeli urusannya sudah
selesai. Tidak setiap saat berpikir masalah genting dan barang elektronik. Nah
kiranya kita perlu sedikit berbenah dalam menyikapi tata nilai yang berlaku di
lingkungan kita. Tujuan berumah tangga bukan saling membebani tetapi saling
meringankan. Urusan rumah tangga bukan terbagi menjadi urusan masing-masing,
tetapi menjadi urusan bersama. Bukan pantangan bagi suami untuk mengurus dapur,
sumur dan kasur. Seorang suami tidak akan kehilangan kehormatan jika ikut
memasak, mencuci dan merapikan tempat tidur. Sebaliknya seorang suami tidak
akan bertambah kehormatannya jika cuek terhadap urusan tersebut. Nah…selamat menjadi suami solihah.
Lebih
baik jangan berpolitik. Mengapa ? Karena politik itu berdiri di atas
kepentingan. Kepentingan akrab dengan nafsu keangkara murkaan. Siapa yang
banyak ‘teman’ akan berkuasa. Karena berhubungan dengan banyak teman tadi niat
awal yang mulia menjadi terdeviasi. Kita tidak dapat mengontrol perilaku
‘teman’ seperjuangan. Karena beragamnya motivasi mereka dalam memberikan
dukungan. Ada yang murni berjuang demi kemaslahatan, tapi banyak pula yang
menginginkan imbalan demi ‘kesejahteraan’ diri dan keluarga. Mereka sama-sama
berjuang bahu membahu tak kenal lelah. Motivasi keduanya baru nampak berbeda
saat perjuangan membuahkan hasil. Mereka yang menginginkan kedudukan mulai
terang-terangan meminta jabatan. Jabatan yang diraih dengan berpolitik memang
lebih cepat tercapai. Politik adalah panglima, meminjam istilah bung Karno.
Sekarang sudah terbukti. Orang biasa menjadi luar biasa karena berpolitik.
Tidak memandang latar belakang pendidikan, bahkan masa silam yang suram
sekalipun tidak menjadi soal. Dari pengangguran, bandar togel sampai preman sekalipun dapat berkarir dalam
politik. Politik adalah kepentingan. Kepentingan yang terakumulasi dan
terorganisir akan tampil menjadi panglima. Tidak peduli itu kepentingan jahat
yang menindas. Apalagi kepentingan itu dipaksakan dengan uang dan kekerasan. Sudah
banyak contoh sosok yang santun, berpendidikan dan punya kharisma didukung oleh
banyak kalangan. Rakyat mendambakan dia sebagai pemimpin yang adil, jujur dan
memikirkan kesejahteraan rakyat luas. Tetapi siapa yang bisa melarang bahwa
diantara pendukungnya adalah segerombolan orang jahat yang ‘julig’. Gerombolan
itu mengincar ‘kamukten’ untuk diri pribadi. Gerombolan itu juga aktif berjuang
dengan menjinakkan gerombolan lain, menakut-nakuti rakyat yang papa tiada daya.
Siapa yang bisa melarang bahwa diantara pendukungnya adalah segelintir orang
kaya yang berwatak angkara murka. Mereka berjuang dengan harta yang mereka
miliki. Menyuap sana-sini. Bahkan rakyatpun sanggup mereka beli. Tentunya itu
bukan gratis. Politik mereka adalah politik kapitalis. Mengeluarkan uang banyak
untuk memperoleh uang yang lebih banyak lagi. Dua golongan di atas jika sudah
bergabung niscaya menjadi kekuatan tak tertandingi. Mereka itulah yang mewarnai
dan memberi cita rasa sebuah rezim. Rezim sebaik apapun tidak berdaya
menghadapai dua kekuatan yang menunggangi. Rezim sebaik apapun butuh dana segar
dan penggalangan masa. Mereka berdualah yang jempolan untuk itu. Dana harampun
ikut membiayai operasi. Siapa yang bisa mencegah dana haram masuk ? Sosok
sejujur apapun tak akan mampu menangkal masuknya dana haram. Pada hal dana haram
ini suatu saat akan menjadi batu sandungan bahkan menjungkalkan. Sosok sejujur
malaikatpun tak mampu bekerja sendiri. Idealisme akhirnya berbenturan dengan
pragmatisme. Mau tidak mau terpaksa melakukan bargening. Win win solution.
Perjuangan untuk memakmurkan rakyat terdeviasi. Diplencengkan sedikit demi
sedikit. Lama-lama penyimpangan menjadi sangat kasat mata. Korupsi hingga
monopoli tak terkendali. Pada titik anti klimaks itu akhirnya terjadi konflik. Pemimpin
sebaik apapun kena getahnya. Semua tuduhan mengarah padanya. Rezimnya dicaci
maki. Dia sendiri yang dihakimi oleh media dan rakyatnya sebagai biang
kehancuran. Dia terpaksa harus ikut menangung dosa politik yang tidak
dilakukan. Padahal itu dilakukan oleh pembantu-pembantunya. Sudah banyak contoh
saat ‘pembantunya’ tersangkut hukum karena korupsi, mau tidak mau dia juga ikut
terbawa-bawa. Dana haram yang didapat diluar sepengetahuannya harus juga
dipertanggung jawabkan. Padahal dana itu tidak dia nikmati, dana itu untuk
operasional organisasi. Yang menjadi lucu jika mereka saling berbantah dan
melempar tuduhan. Saling menjelekkan. Kita yang menyaksikan hanya tertawa geli.
Sambil bertanya-tanya siapa yang benar? Kita jawab sendiri tidak mungkin
dua-duanya benar.
Les,
Antara Trend Dan Kebutuhan. Fenomena les atau pelajaran tambahan saat ini
menjadi trend di kalangan siswa. Mereka merasa kurang atau dikesankan kurang
dalam mendapatkan pelajaran di sekolah. Mereka merasa kurang trendi jika tidak
ikut les. Apalagi untuk siswa pintar. Anak pintar biasanya rajin dalam mencari pengetahuan
di luar sekolah. Mereka rajin berburu ilmu kepada siapa saja. Sasaran yang
pertama kali mereka bidik adalah guru. Terutama guru eksak. Banyak siswa-siswa
pintar yang les pada gurunya. Guru-guru eksak menjadi kebanjiran siswa. Mereka
kuwalahan dalam menjalani aktivitas di luar sekolah yang satu ini. Jam lembur
mereka lebih panjang dari pada jam pokoknya di sekolah. Dari pulang sekolah
sampai menjelang tidur mereka masih giat mengajar.
Fenomena
les tidak dapat dilepaskan dari lingkungan keluarga. Dorongan orang tua tentu
tidak bisa diabaikan. Siswa pintar kebanyakan berasal dari lingkungan keluarga
yang respek terhadap pendidikan. Orang tua bangga jika mempunyai anak yang
tergolong pintar. Lulus SD tidak susah mencari sekolahan. Mereka tidak kesulitan
masuk SMP. Karena nilainya bagus mereka bebas memilih SMP yang diingini.
Demikian pula ketika lulus SMP, mudah saja masuk SMA yang dikehendaki. Kejadian
seperti ini membuat orang tua lain menjadi ‘iri’. Mereka juga ingin menjadi
orang tua yang berhasil mengantarkan anak-anaknya mendapat pendidikan yang
lebih dari yang lain. Satu-satunya jalan yang mereka ketahui tidak lain adalah
les. Banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya ikut les. Bahkan ada yang menggunakan
cara sedikit memaksa, karena anaknya tidak sejalan dengan keinginan orang tua. Orang
tua bangga jika anaknya ikut les ini ikut les itu. Dalam perkembangannya les
bukan lagi sebuah kebutuhan tetapi sudah berubah menjadi gaya hidup. Gaya hidup
masyarakat yang selalu haus mode. Merasa tidak modis jika tidak ikut les. Jika mau
obyektif kebutuhan akan les pelajaran sekolah memang tidak terlalu mendesak. Ilmu
sesederhana itu sudah cukup dikuasai ketika sungguh-sungguh mengikuti tatap
muka di sekolah dan belajar mandiri di rumah. Mengapa harus mengesankan sebuah
pelajaran begitu buas menakutkan ? Sehingga diperlukan jurus tambahan untuk
menjinakkannya. Butuh waktu panjang untuk mencernanya. Semakin banyak alat
bantu, semakin modern sistem pembelajaran mestinya semakin singkat dalam
menguasai ilmu. Bukan malah sebaliknya. Namun demikian trend mengikuti les
adalah trend positif yang ikut membantu memutar roda perekonomian. Les menjadi
sebuah industri.
Peluang
bisnis yang menjanjikan ini segera ditangkap oleh pelaku bisnis bidang
pendidikan. Pertumbuhan lembaga bimbingan belajar menjamur di seantero kota. Bahkan
di tempat-tempat strategis lembaga-lembaga ini mampu berdiri berdampingan
bersama pebisnis fastfood dari manca negara. Dari sore sampai malam hari
pemandangan anak-anak sekolah yang haus ilmu menghiasi sudut-sudut kota. Mereka
nampak menikmati rutinitas dengan enjoy. Generasi penerus bangsa yang masih
steril dari dugem, premanisme dan narkoba. Sungguh pemandangan yang
membanggakan sekaligus penuh harapan. Di pundak mereka negeri ini kelak akan
tersandar. Jika sebagian besar dari generasi muda mempunyai budaya sadar
pendidikan kiranya tidak berlebihan jika kita berharap akan keteraturan. Keteraturan
dapat mengatasi keruwetan. Muaranya efisiensi pada semua segi kehidupan. Rasanya
tidak berlebihan jika kita berapresiasi positif kepada lembaga-lembaga
pendidikan yang ikut membantu mengasah kecerdasan. Mereka menjadi salah satu
benteng pertahanan dari gempuran dekadensi. Apa jadinya jika lembaga-lembaga
yang berdiri bukan lembaga pendidikan tetapi arena permainan, karaoke dan perjudian
yang lebih menjanjikan keuntungan materi berlimpah.
Refleksi Menuju Dedikasi. Masalah di sekolah yang kita hadapai dari hari ke hari, dari tahun ke
tahun adalah itu- itu saja. Kedisiplinan siswa kurang, motivasi rendah,
antusias nihil, yang berakibat rendahnya prestasi belajar siswa. Anehnya kita
pun ikut-ikutan tidak mau kalah, juga selalu mempunyai alasan itu-itu saja.
Karena kurangnya dukungan orang tua, karena lingkungan tidak kondusif, masalah
pendidikan sangat kompleks, waktu di sekolah relatif pendek hanya 6 jam dan
lain sebagainya. Mengapa kita tidak pernah bertanya ‘ Apa yang sudah kita
lakukan ?’ Jangan-jangan alasan itu hanya cara kita menghindar dari masalah
saja, menghindar karena tidak mau repot. Salahkah jika orang lain menilai bahwa
kita adalah pemalas ? Maunya kerja seringan-ringannya mendapat gaji
setinggi-tingginya.
Masalah kedisiplinan kurang, motivasi rendah, antusias nihil bukankah
ini adalah bahasa tubuh siswa yang kalau diterjemahkan bahwa ‘cara mengajar
kitalah yang belum bagus, belum menarik’. Memang benar kita mengajar siswa,
tetapi sejatinya siswa juga mengajari kita bagaimana cara mengajar yang baik
lewat bahasa tubuh mereka. Solusinya tentu merancang pembelajaran yang lebih
menarik, bukan mencari kambing hitam. Hal yang aneh jika masalah yang sama
terjadi berulang, hanya dicari kambing hitamnya tidak pernah dicari jalan
keluarnya. Bukankah masalah itu ada untuk diselesaikan bukan untuk dikeluhkan. Kalau
dunia tanpa masalah justru itu menjadi masalah. Guru yang selalu mengeluhkan kekurangan, guru yang
selalu menyalahkan keadaan, guru yang selalu menyalahkan orang lain, guru yang
selalau menganggap siswanya bodoh itu adalah ciri-ciri guru yang kurang
konsisten terhadap pilihan, guru yang kurang komitmen, guru yang kurang
dedikasi, guru yang tidak setia kepada profesi.
Serendah apapun input siswa, seburuk apapun lingkungan siswa, kita yang
nota bene ‘ahli’ dalam dunia pendidikan tidak boleh menyerah. Masalah yang
muncul hendaknya coba kita rumuskan bersama sama dan dibuka jalan keluarnya
dengan penuh dedikasi dan optimisme. Jika terpaksa ada siswa yang harus gagal
ya apa boleh buat, yang penting kegagalan bukan berasal dan bukan bersumber
dari kita tetapi melulu berasal dari siswa. Jika dalam bekerja kita sudah
membentuk team yang solid dan pantang menyerah tentu kebodohan tidak akan lama
bercokol. Semoga.
Artikelnya unik, saya tunggu yang lain. Trim
BalasHapus