Pembelajaran lebih menarik jika menggunakan media. Dengan media gejala yang rumit, yang sulit diamati bisa disederhanakan. Saya ingin berbagi Media Pembelajaran IPA melalui link di bawah ini :
Asam Basa
Ternyata
mengukur diameter matahari dapat kita lakukan dengan mudah dan murah.
Dengan bahan sederhana kita dapat merancang sebuah alat yang cukup
handal untuk melakukan pengukuran. Bahan yang kita perlukan : Dua lembar
karton yang cukup tebal lagi kuat dan sebuah penggaris kayu 100 cm.
Kita buat lubang tepat di tengah karton. Lubangnya kecil saja yang
penting dapat dilewati oleh cahaya matahari. Dua lembar karton tersebut
kemudian kita hubungkan melalui penggaris kayu. Karton yang berlubang
kita letakkan di bagian atas. Karton yang utuh kita letakkan di bagian
bawah. Jalannya sinar matahari dapat kita sederhanakan hingga membentuk
dua buah segitiga sebangun. Segitiga ABC sebangun dengan segitiga CEG.
Kesebandingan : AB/DC= EG/FC. Jadi AB = (EG/FC) x DC. Nah cukup mudah
kan. AB : diameter matahari DC : jarak matahari bumi = 150 juta km FC :
panjang penggaris = 100 cm = 0,001 km EG : diameter bayangan matahari
pada karton. EG kita ukur langsung dengan penggaris. Selamat mencoba.
Menyambut Pemimpin Baru. Bapak ibu yang saya hormati. Pada kesempatan ini perkenankan saya
menyampaikan harapan-harapan berkenaan dengan pemimpin kita yang baru. Harapan
saya sebenarnya biasa-biasa saja. Hal yang sebenarnya hanya biasa-biasa saja
kadang mendapat tanggapan yang luar biasa karena kita terbiasa hidup dalam
kungkungan kesesatan luar biasa. Sesuatu yang biasa-biasa saja dinilai luar
biasa miringnya.
Harapan saya
yang pertama yaitu harapan tentang kebaikan. Kita semua menginginkan kebaikan.
Kita semua paham bahwa kebaikan berasal dari kebaikan. Kebaikan tidak pernah
berasal dari keburukan. Berharap kebaikan berarti harus melakukan kebaikan.
Sama seperti berharap buah mangga. Kita berharap memetik buah mangga, yang
harus kita lakukan adalah menanam pohon mangga. Bukan menanam sembukan. Buah
mangga selalu berasal dari pohon mangga bukan berasal dari sembukan. Logika ini jelas
sangat logis. Tetapi yang sering kita jumpai malah sebaliknya. Sering kali kita
menyaksikan sebagian pemimpin kita mengharap kebaikan tetapi yang dilakukan
bukan kebaikan. Yang mereka lakukan adalah keburukan. Jelas ini tidak nyambung.
Dua kondisi yang kontradiksi tidak bisa dikorelasikan. Ini adalah contoh yang
tidak patut dicontoh. Contoh pemimpin yang tidak cerdas secara spiritual
religius.Contoh pelecehan terhadap Tuhan Yang Maha Baik.
Harapan saya
yang kedua, harapan kepada bapak kepala sekolah yang baru. Saya berharap bapak
kepala sekolah berkenan mengubah image yang selama ini berkembang di sini.
Selama ini kami yang ada di sini memandang bahwa kepala sekolah bukan merupakan
jabatan yang agung, bukan jabatan yang penuh kehormatan. Oleh karena itu di antara kami enggan untuk mengikuti seleksi
calon kepala sekolah karena alasan itu tadi. Sebenarnya jabatan kepala sekolah
adalah jabatan yang agung, prestisius, jabatan yang penuh kehormatan. Penilaian
kami tidak seperti itu karena melihat bukti bahwa sebagian kepala sekolah tidak
menjunjung tinggi amanah yang diemban. Apalagi permainan dalam mendapatkan tiket kepala sekolah sudah terang-terangan dan bukan rahasia lagi. Ngomong amanah tetapi hanya dimulut
saja praktiknya alu amah. Saya mohon pak, bapak berkenan mengubah penilaian kami selama ini. Saya
mohon bapak berkenan menyadarkan kami bahwa penilaian kami selama ini keliru. Saya
berharap bapak menjadi figur tauladan di sekolah kami. Kami berharap dapat
meneladani bapak dalam hal : kedisiplinan bapak, komitmen bapak, kepedulian
bapak, cara mengajar bapak, kejujuran bapak. Harapan kami hanyalah harapan yang
biasa-biasa saja. Mohon jangan kecewakan kami. Jangan sampai terjadi lagi bahwa
kepala sekolah menyuruh guru untuk dibuatkan administrasi mengajar menjelang
monitoring. Kami sangat kecewa jika ini terjadi lagi. Tidak salah jika ada yang
berteriak : ‘gaweyan moh ngenyangi, bareng duwik digegem dewe. Patuta banyu
dugegem ora kutah.’ Seloroh ini muncul karena kepala sekolah tidak dapat
menjaga kehormatan sebagai pemimpin. Soal kejujuran tidak harus berupa uang.
Memang kejujuran seseorang paling mudah diukur dari cara pengelolaan keuangan.
Kita semua tahu dana bos besarnya Rp 710.000 per anak per tahun. Jika siswa
kita sekitar 400 orang berarti dalam 1 tahun dana bos berjumlah 300 juta kurang
sedikit. Saya mohon dana sebesar ini digunakan sebaik-baiknya. Jangan hanya
diwujudkan sapu dan tong sampah, butuh kertas saja tidak ada. Tidak salah jika
muncul seloroh : ‘Tukune langsung neng pabrike kok makane
larang. Ya wong pabrike neng RRC kono’
Mohon bapak tidak
membuka ruang su’udzon semakin melebar. Tetapi jika kondisinya masih tetap seperti ini
rasanya tidak salah jika muncul su’udzon. Jika kepala sekolah membeli mobil
baru ada seloroh : ‘kuwi mobil inventaris sekolahan’. Jika kepala sekolah
membangun rumah baru muncul seloroh : ‘kuwi rumah dinase sekolahan’. Apa
artinya materi jika seperti ini. Apa artinya jabatan jika harus kehilangan
kehormatan dan kepercayaan.
Sekali lagi
saya mohon ini jangan terjadi lagi. Saya mohon ruang su’udzon ditutup
rapat-rapat. Saya berharap terjadi perubahan image di bawah kepemimpinan bapak.
Saya berharap image negatif berubah dengan melihat bukti nyata yang bapak tunjukkan. Saya berharap dana
bantuan operasional UN dan dana bantuan penulisan ijazah nanti masuk dalam
perhitungan sumber pembiayaan UN yang dikelola oleh bendahara. Dengan melihat
bukti-bukti nyata itu semoga image negatif berubah dengan cepat menjadi
positif. Sehingga nampak jelas bahwa jabatan kepala sekolah adalah jabatan yang
benar-benar agung, prestisius dan terhormat sebagaimana mestinya. Pada
gilirannya nanti teman-teman tertarik dan berbondong-bondong untuk mengikuti
seleksi calon kepala sekolah. Semoga.
Apa
yang kita alami dan kita rasakan saat ini merupakan akibat kurangnya keseriusan
kita dalam mempertahankan yang haq. Jika kita sudah berhasil meyakinkan banyak
orang bahwa satu-satunya jalan untuk menuju kesejahteraan bersama adalah amar
makruf nahi mungkar, tentu keadaannya menjadi berbeda. Pemimpin yang terpilih
adalah pemimpin amanah bukan alu amah. Sosok yang tidak bersifat amanah tidak
akan mendapat ruang di hati pemilihnya. Jika kenyataannya saat ini yang muncul
adalah pemimpin alu amah itu karena sebagian besar dari kita hanya ngaku-ngaku saja mencintai kebenaran tetapi
ogah-ogahan memperjuangkan tegaknya kebenaran. Sebagian besar dari kita lebih
memilih hanya numpang hidup enak tanpa perlu ikut berjuang. Mau ikut siapa saja
tidak jadi soal yang penting dapat hidup enak, mau makruf mau mungkar bukan
masalah. Jika diminta ikut bergabung dalam laskar pembela kebenaran dengan
enteng menjawab : saya mendukung dengan doa saja dari belakang. Jika benar-benar
memanjatkan doa itu masih baik tetapi sebagian besar tidak demikian. Ngomong berdoa
itu hanya cara untuk menghindar dari perjuangan. Sebagian kecil hanya berani mencegah
kemungkaran dengan hati. Hanya segelintir yang berani mencegah kemungkaran
dengan tangan dan dengan kata-kata. Jika keadaannya demikian siapa yang salah ?
Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka tidak ingin
mengubah nasib mereka sendiri. Kiranya kita sudah terlalu banyak kehilangan. Kehilangan
kebanggaan pada pemimpin, kehilangan kebanggaan kepada yang makruf dan
kehilangan kebanggaan sebagai insan yang berketuhanan.
Kontroversi ujian bersama. Ujian semester, ujian sekolah dan Ujian Nasional merupakan kegiatan
rutin tahunan di sekolah. Ujian Nasional dilaksanakan oleh pemerintah dengan
soal sama untuk tiap propinsi. Sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai
standar keberhasilan siswa. Siswa yang mempunyai nilai sama walaupun berasal
dari sekolah berbeda dianggap mempunyai keberhasilan yang sama pula. Bertitik tolak
dari sinilah kemudian semua ujian dibuat bersama. Ujian semester sampai ujian
sekolah dibuat bersama untuk satu kabupaten dengan alasan supaya mendapatkan
nilai yang standar. Ini argumen ideal yang selalu dimunculkan tetapi dibalik
itu tidak menutup kemungknan ada alasan lain yang paling mendasar yang bersifat
pragmatis yang tidak pernah disuguhkan untuk konsumsi publik. Alasan itu hanya
disantap oleh kalangan tertentu. Kelihatanya alasan ideal yang pertama dapat
diterima, tetapi jika kita cermati lagi mengenai isi soalnya masih perlu dipertanyakan.
Membuat soal bukan perkara sepele. Bukan
asal jadi kemudian digunakan sebagai alat penentu keberhasilan siswa. Sebagai alat
ukur tentunya harus memenuhi syarat kehandalan dari sisi bahasa maupun esensi. Jika
sebuah alat ukur tidak terjamin kehandalannya, niscaya hasil pengukurannya mengandung banyak kesalahan.
Jika hasil yang salah dijadikan dasar pengambilan kebijakan, niscaya menghasilkan
kebijakan yang bermasalah. Sebagai contoh untuk mengukur panjang meja digunakan
penggaris dengan skala amburadul. Memang panjang meja berhasil diketahui. Tetapi
pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan amburadul. Bukan pengetahuan
obyektif yang standar. Jika tetap dipaksakan sebagai sesuatu yang standar jelas
dampaknya tidak bisa dibilang kecil.
Bukannya tidak boleh
menyelenggarakan ujian bersama, tetapi tidak perlu semua ujian dibuat bersama.
Lebih baik jika semua guru masing-masing sekolah juga diberi kesempatan
berlatih dalam menyusun soal untuk siswanya sendiri. Menyusun kalimat dalam
sebuah soal perlu latihan supaya terampil dalam memindahkan pesan ke dalam
tulisan. Jika semua guru sudah terampil niscaya akan menghasilkan alat ukur
yang handal dan terpercaya sebagai standar. Sebaliknya jika guru yang tidak
pernah berlatih tiba-tiba dipaksa ‘bertanding’, tentu hasilnya sudah bisa
ditebak.