Syarat administrasi tidak dapat diremehkan, sebab awal kegiatan dimulai dari situ. Saya ingin berbagi Perangkat Pembelajaran IPA SMP melalui link berikut :
Penentuan KKM
Ku lihat ibu pertiwi sedang bersusah hati. Air matamu berlinang. Mas intanmu terkenang. Hutan gunung sawah lautan. Simpanan kekayaan
Kalimat di atas adalah penggalan lirik lagu wajib Ibu pertiwi. Lirik tersebut sangat relevan dengan kondisi Negara kita saat ini. Negeri yang kaya raya ini tak mampu hidup sejahtera. Karena terlalu banyak anak-anak durhaka yang terlahir dari rahim mulia Ibu Pertiwi. Anak anak durhaka yang hanya berebut emas, intan, hutan, gunung, sawah dan lautan. Tidak ada hari tanpa pertengkaran. Anak yang diserahi membangun gedung, selalu berpikir untung. Anak yang diserahi mendidik, akhlaknya malah terbalik. Anak yang ditugasi menjaga harta pusaka, malah semena-mena. Anak yang diserahi mengolah minyak, setelah dapat minyak malah dikuasai sendiri dipakai untuk kesenangan sendiri. tidak berpikir bahwa saudara-saudaranya yang lain juga membutuhkan. Minyak dikelola semau-maunya. Saudara-saudaranya yang membutuhkan solar untuk melaut tak mendapatkan. Saudara-saudaranya yang butuh solar untuk mengantar kebutuhan sehari-hari harus gigit jari. Ibu pertiwi hanya bisa meratapi ketamakan putra-putri tercintanya. Mengapa perangai mereka bisa seperti itu. Pada hal beliau selalu mendidik agar mereka hidup rukun, saling menolong menjunjung tinggi martabat, jangan tamak.
Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa.
Dampak PPDB 3 Jalur. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan event rutin setiap tahun. Peserta didik yang dapat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi tentunya harus lulus lebih dahulu dan ditandai dengan bukti tanda lulus dari sekolah asal. Tradisi PPDB konvensional seperti itu berlangsung secara alami dan tidak mengganggu sekolah asal yang ditinggalkan. Sebab mereka sudah pada lulus. Hari-hari pendaftaran, tes maupun pengumuman hasil tes bukan lagi merupakan hari efektif sekolah. Lain halnya pada tahun pelajaran 2013/2014 ini. Dengan alasan kreativitas dan jemput bola dalam berebut calon peserta didik berkualitas. PPDB dilakukan melalui 3 jalur. Jalur I disebut jalur PMDK. Calon peserta didik megikuti tes. Seleksinya berdasarkan nilai tes tertinggi. Mereka yang diterima adalah yang berhasil meraih nilai tinggi mengalahkan rival-rival mereka.  Jalur II disebut jalur reguler khusus. Seleksinya berdasarkan rata-rata nilai rapor walaupun praktiknya ada perubahan. Pada Jalur II ini juga diadakan tes tulis. Nilai akhir diformulasikan NA = 0,3 NR + 0,7 NU. (NA : nilai akhir, NR : Nilai Rapor, NU : Nilai Ujian). Mereka yang diterima adalah yang mempunyai nilai akhir tinggi. Jalur III disebut jalur reguler. Seleksinya berdasarkan nilai ujian nasional (NUN). Mereka yang diterima adalah yang mempunyai NUN tinggi. Praktis jalur III dilakukan setelah mereka dinyatakan lulus dari sekolah asal. Kalau kita cermati pelaksanaan PPDB yang dilaksanakan selama ini adalah jalur III dan jalur I untuk beberapa sekolah yang dianggap unggul. Jalur II baru dilaksanakan tahun 2013/2014 ini. Ternyata jalur I dan jalur II banyak menyisakan masalah. Antara lain pada Jalur I pembatasan nilai menjadi tak bermakna. Karena bukan hanya calon unggul yang dapat mendaftar tetapi semua calon peserta didik dapat mengikuti seleksi karena yang menjadi syarat pendaftaran adalah nilai rapor. Padahal tujuan Jalur I dan Jalur II diadakan untuk menjaring calon peserta didik yang unggul. Peserta didik yang unggul tidak dapat dilihat dari nilai rapor tetapi nampak dari peringkatnya di kelas.Karena nilai rapor tidak dapat distandarkan. Nilai rapor tiap sekolah tidak dapat dipakai sebagai acuan. Karena memang mustahil diperbandingkan. Selain faktor subyektivitas guru sangat dominan juga alat evaluasi yang digunakan berbeda-beda. Mustahil mendapatkan nilai standar dari ruang, waktu, subyek dan obyek yang berbeda. Misalnya nilai 80 untuk sekolah satu berbeda kualitasnya untuk sekolah yang lain. Sekolah akan tertipu dengan angka yang tidak standar. Kecuali jika setiap semester diadakan penilaian oleh sebuah lembaga independen. Sehingga setiap peserta didik mempunyai nilai murni ujian semester.
Masalah lain tentang hari efektif sekolah. Karena dilaksanakan pada hari efektif sekolah maka akan mengganggu proses pembelajaran. Calon peserta didik masih belum dinyatakan lulus dari sekolah asal. Mereka masih aktif mengikuti pembelajaran dalam persiapan menempuh ujian nasional (UN). Praktis hari efektif sekolah terpotong saat pendaftaran, pelaksanaan tes, pengumuman hasil tes dan daftar ulang. Ada 4 hari efektif yang hilang bagi mereka yang langsung diterima pada jalur I. Bagi mereka yang tidak diterima pada jalur I masih lebih banyak lagi hari efektif yang hilang. Yaitu saat pendaftaran jalur II, pengumuman hasil seleksi dan daftar ulang. Itu baru kajian dari dua sisi. Belum lagi jika melihat dampak psikologi mereka. Konsentrasi pada pelajaran menjadi tidak penuh. Yang sudah diterima pada jalur I dan jalur II menjadi terlena. Seolah-olah mereka sudah lulus dari sekolah asal. Sikap mereka menjadi tidak sungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran. Mentang-mentang sudah dapat sekolahan. Lain lagi mereka yang tidak diterima pada jalur I dan jalur II. Mereka gelisah dan cemas karena belum mendapatkan sekolah. Konsentrasi dalam belajar menjadi terpecah. Hari-hari dihabiskan tanpa keceriaan. Secara keseluruhan kondisi psikologi mereka semua cukup mengkhawatirkan. Mereka yang terlena dan mereka yang gelisah sama-sama beresiko. Bisa jadi saat ujian nasional nanti semangat mereka berada di titik nadir. Jika memang demikian yang terjadi hasilnya dapat ditebak.
Saran. PPDB jalur I hendaknya tidak mencantumkan batas nilai sebagai syarat pendaftaran tetapi peringkat di kelas. Karena peringkat kelas merupakan pencerminan kualitas peserta didik. Peringkat kelas merupakan seleksi alamiah di sebuah sekolah dalam waktu cukup panjang. Peserta didik bermutu pasti menduduki peringkat atas.
PPDB jalur II hendaknya ditunda dulu sampai memungkinkan diterbitkannya daftar nilai murni ujian semester. Jadi pelaksanaan PPDB cukup jalur I dan Jalur III.
Untuk menghindari hilangnya hari efektif perlu dijalin kerja sama dengan sekolah asal. Mulai dari pendaftaran hingga daftar ulang dilakukan secara kolektif.
Negeri 1000 Slogan. Saat ini adalah musim slogan. Di mana-mana kita temuai spanduk berisi slogan. Isinya sih bagus. Tapi sayangnya hanya sebatas hiasan tanpa makna. Bagaimana tidak, di kantor pelayanan umum terpampang dengan gamblang slogan ‘Tekadku Adalah Pengabdian Terbaikku’ Tetapi apa lacur ? Slogan tersebut tidak pernah menjadi roh pelayanan para aparaturnya. Pelayanan tetap mengecewakan. Etos kerja tetap rendah. Sebelum dan sesudah dipasang slogan keadaan nyaris tiada beda. Kalimat indah itu tak memberi pengaruh apa-apa. Sebenarnya sadar apa tidak ya ketika memasang slogan. Lain instansi lain lagi ceritanya. Di kantor bagian pelayanan SIM terpampang slogan sedikit garang ‘Jangan Percaya Calo’. Ada lagi slogan yang bernada menyindir ‘Orang Pintar Cari SIM Tidak Diantar’. Lagi-lagi keadaan kontradiksi kita temui. Calo justru bergentayangan. Mulai dari bagian pemeriksaan kesehatan sampai tempat tes. Mereka sudah siap dengan taringnya masing-masing untuk menggigit mangsa. Anehnya yang menjadi calo adalah aparatnya sendiri. Anda mungkin tidak percaya sebelum mengalami sendiri. Modusnya macam-macam. Ada yang menawarkan jasa seperti kenek bus cari penumpang. Memanggil-manggil calon mangsa tanpa perasaan malu. Jumlah mereka cukup banyak. Jadi ya agak berebut dalam membidik calon mangsa. Ada yang agak halus. Dipanggil masuk ruangan, ditanya apa perlu bantuan. Kalau perlu bantuan harus bayar sekian ratus ribu. Kalau setuju saat itu juga transaksi dilakukan. Dan kita menerima tanda pengenal khusus yang harus dipakai. Tanda pengenal yang dikalungkan dengan tujuan dapat dengan mudah di ketahui bahwa kita adalah pencari SIM dengan cara KKN. Walaupun KKN kita tidak perlu khawatir akan ditangkap aparat. Karena KKN sudah dilegalkan. Yang tidak KKN justru akan menemui kesulitan. Atau lebih tepatnya dipersulit. Sungguh repot hidup di negeri 1000 slogan.
Mengecewakan Penonton. Kisah-kisah lama penuh dengan nilai-nilai luhur. Seolah-olah penulisnya merasa bertanggung jawab dalam menjaga keluruhan budi pekerti masyarakat. Sehingga kisah selain berfungsi sebagai hiburan juga berfungsi sebagai tuntunan dalam menjaga moralitas. Masyarakatpun puas setelah mengikuti cerita dari awal hingga akhir. Tokoh jahat selalu berakhir dengan kekalahan, sebaliknya tokoh baik selalu berakhir dengan kemenangan. Kejahatan akan kalah oleh kabaikan. Selain cerita yang sarat petuah lagu-lagu yang diciptakanpun tidak pernah meninggalkan keluhuran budi. Lirik lagu penuh dengan nasihat. Pemilihan kata melalui perenungan yang matang dan dalam. Lagu yang dihasilkanpun abadi sepanjang masa. Tuntunan inilah yang menancap erat dalam sanubari siapa saja yang mendengar dan membaca. Sehingga tatanan kehidupan penuh dengan kesantunan dan kejujuran serta jauh dari unsur pornografi. Semua yang dilihat dan didengar berupa adegan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.
Lain dulu lain sekarang. Cerita-cerita yang lahir di jaman modern ini sebagian besar tidak mempunyai visi. Tujuan terpenting hanyalah memenuhi pesanan tayangan televisi. Sehingga dijaman modern ini  kehadiran televisi lebih banyak menyesatkan daripada menghibur. Kehadiran teman yang satu ini akan mencelakakan, begitu kita lengah. Tsunami segera  melibas jika kita tidak selektif dalam memilih acara. Cerita-cerita yang ditayangkan lebih banyak membodohi dari pada mendidik. Tokoh baik dan jahat menjadi susah dibedakan karena  dikaburkan batasnya. Tokoh baik berlama-lama menderita, tokoh jahat berlama-lama berjaya. Keadaan diperparah dengan lirik lagu yang didendangkan berbau pornografi serta mendorong syahwat agar mendekat ke arah maksiat. Materi lagu maupun cerita jauh dari keluhuran budi. Miskin idealisme dan tanggung jawab moral. Moral generasi bangsa perlahan-lahan dirusak oleh  hiburan yang menyesatkan ini. Adegan menyesatkan akan dianggap biasa bahkan menjadi suatu kebenaran jika terus menerus dipropagandakan. Cerita tidak pernah berakhir sebagaimana harapan penonton bijak, yaitu tokoh baik tampil sebagai pemenang, tokoh jahat binasa. Cerita diakhiri sendiri oleh penonton yang kecewa dengan cara tidak lagi sudi menyaksikannya.